Framing


Secara umum dalam proses pengambilan keputusan, seseorang akan berusaha untuk mengidentifikasi risiko yang akan dihadapi sehingga keputusan yang diambil akan sesuai dengan preferensi risiko seseorang apakah risk averse atau risk seeking (Bazerman, 1994). Dengan memahami risiko yang akan dihadapi, pengambil keputusan dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat dan mengevaluasi keputusan pada kondisi yang tidak pasti. Hal ini dapat mengakibatkan suatu keputusan lebih ditekankan pada prosesnya dibandingkan pada outcome keputusan tersebut. Sehingga perspektif ini memandang bahwa manajer akan membuat keputusan dengan lebih baik melalui penerimaan terhadap adanya kondisi tidak pasti tersebut dan dengan mempelajari bagaimana berpikir secara sistematis dalam lingkungan yang berisiko (Bazerman, 1994).

Expected utility theory secara historis memberikan model normatif dan deskriptif untuk pembuatan keputusan yang mengandung risiko. Teori ini beranggapan bahwa pembuat keputusan adalah seorang yang rasional (Rutledge dan Harrell, 1994). Morgan (1986), dalam Gudono dan Hartadi (1998), menyatakan bahwa pengambil keputusan dianggap mampu memproses informasi dengan sempurna untuk menentukan pilihan yang terbaik. Definisi rasionalitas masih banyak diperdebatkan, tetapi terdapat kesepakatan umum bahwa pilihan-pilihan yang rasional seharusnya dapat memenuhi beberapa persyaratan mendasar yaitu konsistensi dan koherensi dalam keputusan yang dibuat (Tversky dan Kahneman, 1981).

Namun demikian beberapa penelitian menemukan bahwa asumsi rasionalitas tersebut sering “dilanggar”. Salah satu faktor yang sering dianggap menyebabkan penyimpangan tersebut adalah jenis frame yang diadopsi oleh pembuat keputusan (Tversky dan Kahneman, 1981). Framing yang diadopsi ini dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Frame yang dihadapi tergantung pada formulasi masalah yang dihadapi, norma, kebiasaan dan karakteristik pengambilan keputusan itu sendiri (Gudono dan Hartadi, 1998). Frame yang digunakan oleh Tversky dan Kahneman (1981), Gudono dan Hartadi (1998), dan Rutledge dan Harrell (1994) adalah positive and negative frame. Lipe (1993) dan Na’im (1998) menggunakan cost and loss frame. Dalam kondisi rugi atau negative framing, seseorang akan cenderung lebih nekat untuk menanggung risiko, karena kegagalan lebih lanjut akan menghasilkan nilai subyektif lebih rendah dibandingkan pada kondisi berhasil atau positive framing.

Bias framing inilah yang menjadi penekanan pada penelitian ini. Instrumen yang dikembangkan oleh peneliti menyajikan informasi yang telah dibingkai sedemikian rupa untuk dipilih sebagai alternatif keputusan. Kondisi ketidakpastian digambarkan dari latar belakang perusahaan yang ingin menentukan keputusan dalam pencapaian target laba dan memperluas pangsa pasar. Alternatif keputusan dapat berupa mempertahankan pada pasar domestik atau ekspor ke luar negeri, keduanya memiliki konsekuensi laba tertentu. Sedangkan preferensi risiko seseorang apakah dia seorang yang risk averse atau risk seeking dapat dilihat pada pilihan laba yang dibingkai sedemikian rupa atas dua pilihan tersebut.

Penjelasan terhadap pembingkaian informasi ini dikemukakan oleh Kahneman dan Tversky (1979) dalam teori prospek (prospect theory). Teori prospek menyatakan bahwa frame yang diadopsi seseorang dapat mempengaruhi keputusannya. Dalam teori prospek, hasil keputusan (outcomes) digambarkan sebagai deviasi positif atau negatif (keuntungan atau kerugian) dari suatu titik referen yang bersifat netral yang ditetapkan nilainya sebesar nol. Tversky dan Kahneman (1979, 1981) berpendapat bahwa fungsi nilai (value function) hasil penilaian subjektif pembuat keputusan berbentuk S yang kurvanya berbentuk cekung pada saat di atas titik referen dan cembung pada saat di bawah titik referen. Dari bentuk kurva seperti itu dapat dilihat bahwa seseorang akan merasakan seolah-olah nilai kekalahan sejumlah uang tertentu dalam suatu taruhan lebih besar daripada nilai kemenangan sejumlah uang yang sama sehingga dalam situasi rugi (losses) orang cenderung lebih nekat dalam menanggung risiko (risk-seeking). Teori ini menjelaskan bahwa frame yang diadopsi oleh pengambil keputusan dapat mempengaruhi hasil keputusannya.

Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan hasil yang bervariasi dalam pengujian teori prospek. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Gudono dan Hartadi (1998) yang menunjukkan perilaku orang Indonesia yang cenderung risk neutral ketika informasi yang disajikan positif dan menunjukkan perilaku yang sama (risk taker) ketika informasi disajikan secara negatif. Haryanto (2000) menguji pengaruh framing dan jabatan mengenai informasi investasi pada keputusan individu-kelompok. Hasilnya menunjukkan bahwa, framing dan jabatan mempengaruhi pengambilan keputusan individu-kelompok. Jika informasi disajikan dengan framing negatif, keputusan kelompok akan lebih berisiko dibandingkan keputusan individu, sedangkan untuk framing positif, keputusan kelompok kurang berisiko dibandingkan keputusan individu. Arifin (2004) melakukan pengujian atas teori prospek dan teori fuzzy-trace untuk melihat pengaruh framing pada keputusan akuntansi managerial dalam perspektif individu dan kelompok. Hasilnya menunjukkan bahwa teori fuzzy-trace lebih unggul dalam menjelaskan pengaruh framing dibandingkan teori prospek. Namun pengujian atas teori prospek tersebut diatas masih menggunakan jenis keputusan yang sederhana. Sehingga diperlukan pengujian kembali untuk jenis-jenis keputusan yang lebih kompleks.

Hasil penelitian Hodgkinson et al. (1999) mendukung teori prospek tersebut melalui pengujian terhadap partisipan yang diberikan pilihan keputusan dengan framing positif dan framing negatif. Partisipan diberikan alternatif penyajian informasi mengenai problem yang identik dalam segala hal kecuali penekanan pada potential gains (versi positif) atau pada potential losses (versi negatif). Dengan menggunakan uji chi-square, ditemukan bukti bahwa ketika diberikan framing positif, maka proporsi preferensi antara risk averse (22,7%) dengan risk seeking (27,3%) tidak terlalu berbeda dari masing-masing partisipan, namun ketika diberikan framing negatif, partisipan cenderung lebih risk seeking (45,5%) dibandingkan risk averse (4,5%). Hasil studi ini menunjukkan bahwa, framing bias bukan hanya terbatas pada masalah sederhana saja namun merupakan faktor yang secara potensial dapat mempengaruhi pengambilan keputusan strategik pada kondisi yang lebih kompleks.

Sumber: Yusnaini. Analisis Framing dan Causal Cognitive Mapping dalam Pengambilan Keputusan Strategik: Suatu Studi Eksperimental. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (JRAI), Vol. 9 No. 1 Januari 2006, Akreditasi No. 34/DIKTI/Kep./2003. ISSN 1410-6817

0 komentar:

Posting Komentar