Faktor Kontijensi pada Implementasi SIAKD



Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah merupakan paradigma yang berbeda dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan di daerah bila dibandingkan dengan prinsip sentralisasi. melalui otonomi daerah, Pemerintah Daerah memiliki otonomi yang lebih luas untuk mengelola sumber-sumber ekonomis daerah secara mandiri dan bertanggungjawab sehingga hasil pengelolaan sumber ekonomis tersebut dapat lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Salah satu letak perbedaan mendasar dalam otonomi daerah adalah terletak pada aspek akuntabilitas Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan sumber-sumber ekonomis. Sebelum otonomi daerah akuntabilitas pengelolaan keuangan (termasuk pengelolaan sumber-sumber ekonomis tersebut) bersifat vertikal kepada Pemerintah Pusat, setelah otonomi daerah akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah lebih bersifat horizontal kepada masyarakat yang ada di daerah. Pengelolaan sumber-sumber ekonomis erat kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah yang merupakan aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada publik di daerah.

Dalam upaya mencapai good goverment governance, pemerintah terus mengintensifkan langkah-langkah dalam pengelolaan keuangan daerah. Melalui berbagai Peraturan dan Undang-Undang, pemerintah terus meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas dalam mengelola keuangan daerah. Hal ini ditujukan dalam rangka mendapatkan kepercayaan publik dalam pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu ranah publik yang saat ini mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat. Kondisi ini dipicu oleh maraknya kasus-kasus korupsi baik dalam bentuk suap maupun mark up dana proyek pemerintah dan berbagai bentuk kecurangan lainnya.

Pemerintah menterjemahkan tanggungjawab atas keuangan yang dikelolanya dalam bentuk penyampaian laporan keuangan. Untuk membantu penyusunan laporan keuangan, pemerintah membuat sistem akuntansi keuangan daerah. Sistem ini tentu saja sejalan dengan amanah Peraturan dan Undang-Undang yang mengatur hal ini. Dalam pengembangan sistem informasi akuntansi, pemerintah mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 dan disempurnakan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan tersebut berusaha menyempurnakan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya tentang pengelolaan keuangan daerah. Peraturan ini berusaha mengarahkan penyusunan laporan keuangan yang akuntabel dan transparan. Implementasi sistem informasi keuangan daerah diharapkan dapat memenuhi tuntutan masyarakat tentang transparansi dan akuntabilitas lembaga sektor publik (Mardiasmo 2002).

Saat ini sistem informasi keuangan daerah yang diterapkan di Indonesia sudah diseragamkan. Sistem ini dibangun dengan bekerjasama dengan pihak pengembang sistem untuk memperoleh sistem yang andal. Tujuan keseragaman ini untuk memperoleh laporan keuangan yang online dan mudah diakses baik dipusat maupun daerah. Namun dalam implementasinya, banyak daerah yang masih belum menggunakan sistem yang baru. Hal ini tentu saja menghambat penerapan sistem yang seragam untuk seluruh wilayah Indonesia. Peneliti mengamati implementasi sistem di pemerintah daerah Sumatera Selatan baik dilingkungan provinsi dan beberapa kabupaten/kota. Pada wilayah Sumatera Selatan, terdapat beberapa pemerintahan daerah yang menerima dan ada yang menolak. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa terjadi hal demikian, padahal pemerintah pusat sudah memberikan beberapa dukungan untuk implementasi sistem. Dukungan tersebut antara lain diberikannya sofware sistem, disediakannya fasilitas komputer dan tenaga ahli untuk menjadi field support di masing-masing daerah. Dengan demikian peneliti ingin mengetahui faktor-faktor perilaku dari pengguna sistem dalam pemanfaatan sistem yang baru.

Menurut pendapat Szajna dan Scammel (1993), kesuksesan pengembangan sistem informasi sangat tergantung pada kesesuaian harapan antara sistem analis, pemakai (User), sponsor dan costumer. Demikian pula Bodnar dan Hopwood (1995), berpendapat bahwa perubahan dari sistem manual ke sistem komputerisasi, tidak hanya menyangkut perubahan teknologi tetapi juga perubahan perilaku dan organisasional. Hal ini diperkuat oleh temuan McDermott (1987) bahwa terdapat kira-kira tiga puluh persen kegagalan pengembangan sistem informasi baru diakibatkan tidak memperhatikan aspek organisasional. Perubahan perilaku dan organisasional ini dapat berupa resistance to change. Oleh karena itu, pengembangan sistem informasi memerlukan suatu perencanaan dan implementasi yang hati-hati.

Untuk menghindari adanya penolakan terhadap sistem yang dikembangkan (resistance to change) maka diperlukan adanya partisipasi dari pemakai (Ginzberg, 1981; Szjana dan Scammel, 1993; Lawrence dan Low, 1993; Hunton dan Kenneth, 1994; McKeen dkk, 1994; Muntoro, 1994; Choe, 1996). Harapan dari berpartisipasinya pemakai dalam pengembangan sistem informasi adalah agar pemakai dapat memperoleh kepuasan atas sistem yang dikembangkan. Ives dan Olson (1984) melakukan telaah terhadap tujuh penelitian mengenai hubungan antara partisipasi pemakai dengan kepuasan pemakai, memperoleh hasil bahwa dua penelitian menunjukkan hasil yang positif, empat penelitian menunjukkan hasil negatif dan satu penelitian hasilnya mixed. Hasil yang tidak jelas (equivocal), ini disebabkan terbatasnya teori dan tidak lengkapnya metodologi. Demi merekonsiliasi kondisi tersebut, beberapa peneliti menggunakan pendekatan kontinjensi yang secara sistematis mengevaluasi berbagai kondisi atau variabel-variabel yang dapat mempengaruhi hubungan antara partisipasi pemakai dalam pengembangan sistem informasi dengan kepuasan pemakai atas sistem tersebut. Ada banyak faktor yang kontinjensi yang dianggap berpengaruh pada hubungan antara partisipasi pemakai dengan kepuasan pemakai. Namun, dalam penelitian ini difokuskan pada lima faktor kontinjensi yaitu dukungan manajemen puncak, komunikasi pemakai – pengembang, kompleksitas tugas, kompleksitas sistem, dan pengaruh pemakai (user influence).

Peneliti memfokuskan pada lima faktor kontinjensi tersebut dikarenakan adanya research gap antara temuan penelitian yang dilakukan olehMcKeen (1994) dengan Grahita Chandrarin (1997), yakni menurut McKeen kompleksitas tugas sebagai pure moderator, sedangkan menurut Grahita Chandrarin dan Nur Indriantoro kompleksitas sebagai independent predictor. Research gap ini terjadi pada temuan penelitian McKeen (1994) dengan temuan penelitian Nurika Restuningdiah (1999), yakni temuan McKeen menunjukkan bahwa pengaruh pemakai sebagai Independent Predictor, sedangkan temuan Nurika Restuningdiah menunjukkan bahwa pengaruh pemakai sebagai quasi moderator. Demikian pula kontradiksi temuan terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh McKeen (994) dengan penelitian yang dilakukan oleh Robey dan Farrow (1982), yakni pengaruh pemakai dilaporkan McKeen sebagai independent predictor, sedangkan oleh Robey dan Farrow, pengaruh pemakai dilaporkan sebagai moderating variabel. Kontradiksi ini terjadi pula pada temuan penelitian Grahita Chandrarin dan Nur Indriantoro (1997) dengan temuan penelitian Nurika Restuningdiah (1999), yakni kompleksitas tugas oleh Grahita Chandrarin dan Nur Indriantoro dilaporkan sebagai independent predictor, sedangkan oleh Nurika Restuningdiah, kompleksitas tugas sebagai quasi moderator. Sementara temuan para peneliti ini menunjukkan pengaruh positif partisipasi pemakai terhadap kepuasan pemakai, dengan besarnya pengaruh yang berbeda-beda dan fluktuatif.

Penelitian yang menguji tentang faktor-faktor psikologi telah dilakukan oleh Primasari dkk (2008). Penelitian tersebut menguji tentang variabel anteseden dan konsekuensi implementasi sistem informasi keuangan daerah pada propinsi Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan bahwa adaptasi pegawai dan pengaruh disain sistem berpengaruh terhadap implementasi sistem informasi dan pada akhirnya akan menciptakan kepuasan pegawai dan dihasilkannya kinerja yang tinggi.

Beberapa penelitian sebelumnya tersebut menggunakan setting pada organisasi privat. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada pada penelitian Yusnaini (2008)menguji bagaimana jika teori-teori mengenai pengaruh partisipasi pemakai terhadap kepuasan pemakai sistem informasi yang berada pada organisasi sektor publik. Dalam hal ini penelitian dilakukan pada lembaga pemerintahan daerah Sumatera Selatan dengan pegawai pemerintah sebagai subjek penelitian. Adapun teknologi informasi yang diteliti adalah penggunaan sistem informasi keuangan daerah.

Hasil Penelitian Yusnaini (2008) menunjukkan bahwa (a) Pengaruh partisipasi pemakai terhadap kepuasan pemakai dalam pemanfaatan sistem informasi keuangan daerah di pemerintahan daerah Sumatera Selatan hanya sebesar 15% saja. Hal ini menunjukkan bahwa banyak faktor-faktor lain (sebesar 85%) yang mempengaruhi kepuasan pemakai sistem informasi akuntansi keuangan daerah; (b) Interaksi antara Partisipasi Pemakai dengan Dukungan Manajemen Puncak berpengaruh positif terhadap Kepuasan Pemakai sistem informasi keuangan daerah; (c)Interaksi antara Partisipasi Pemakai dengan Pengaruh Pemakai berpengaruh positif terhadap Kepuasan Pemakai sistem informasi keuangan daerah; (d)Sedangkan interaksi antara Partisipasi Pemakai dengan Komunikasi Pemakai Pengembang tidak berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Pemakai sistem informasi keuangan daerah; (e)Interaksi antara Partisipasi Pemakai dengan Kompleksitas Sistem tidak berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Pemakai sistem informasi keuangan daerah; (f)Interaksi antara Partisipasi Pemakai dengan kompleksitas Tugas tidak berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Pemakai sistem informasi keuangan daerah; (g)Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya mungkin saja karena karakteristik organisasi sektor publik (pemerintahan) berbeda dengan seting organisasi penelitian sebelumnya yang merupakan organisasi privat.

Sumber: Yusnaini. 2008. Pengaruh Partisipasi Pemakai Terhadap Kepuasan Pemakai Sistem Informasi Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD) pada Pemerintahan Daerah Sumatera Selatan. Penelitian Dosen dengan Dana Hibah Kopertis Wilayah II Tahun Anggaran 2008. Unpublish. Palembang.

Fairness and Referent Cognitions Theory

Setiap organisasi mengharapkan agar anggaran yang telah ditetapkan dapat dicapai. Namun penentuan target anggaran dan proses penetapannya merupakan dua faktor penting yang harus diperhatikan. Secara umum, seseorang akan membandingkan anggaran yang ditetapkan atas dirinya dengan pihak lain yang setara. Hal ini menimbulkan persepsi keadilan atas target maupun proses penentuannya. Dengan demikian persepsi keadilan ini menjadi pendorong untuk berkinerja dengan baik. Persepsi individu terhadap fairness atau keadilan baik dalam target maupun prosesnya menjadi motivasi bagi individu untuk mencapai anggaran yang telah ditetapkan (Libby 1999; Wetzel 1999; Lindquist 1995). Salah satu teori yang menguji mengenai fairness adalah teori Referent Cognitions. Menurut teori referent cognitions, interaksi antara fairness terhadap target anggaran dan fairness pada proses penentuan target anggaran merupakan perpaduan yang dapat menimbulkan motivasi dalam mencapai anggaran.

Menurut Folger (1986), ketika target anggaran ditentukan secara fair, maka informasi mengenai proses penentuannya menjadi tidak penting dalam memotivasi pencapaian target. Dilain pihak, ketika target anggaran ditentukan dengan unfair, maka individu akan berusaha mencari informasi mengenai bagaimana proses penentuan target anggaran tersebut. Jika hal itu dihasilkan dari proses yang tidak fair, maka individu menjadi merasa sangat marah, sehingga kurang termotivasi untuk mencapai target anggaran (Cropanzano dan Folger 1991).

Bazerman (1994) mengemukakan bahwa manusia sangat peduli dengan fairness yang dapat mempengaruhi keputusan dan kehidupan mereka. Segala sesuatu akan mengarahkan judgment seseorang mengenai apa dipikirkan mengenai rasa adil tersebut. Fairness mengacu pada pemahaman mengenai bagaimana proses kognitif membentuk perasaan marah, cemburu dan ineffisiensi. Fairness dapat ditinjau dari dua elemen yaitu pada outcomes dan pada prosesnya.

Kahneman, Knetsch dan Thaler (1986) menguji fairness pada seting eksperimen mengenai supply dan demand. Studi tersebut menunjukkan bahwa pertimbangan fairness dapat mendominasi pilihan rasional dalam pengambilan keputusan ekonomis. Studi Lindquist (1995) menunjukkan bahwa proses yang fair didefinisikan melalui partisipasi subordinate pada setting penetapan target anggaran dan aspek dari proses penganggaran lainnya dimanipulasi. Shields and Shields (1998) menguji pengaruh partisipasi dalam penganggaran pada beberapa perbedaan outcomes termasuk kinerja dan penciptaan slack anggaran.

Brockner dan Wiesenfeld (1996) mereview 45 studi mengenai reaksi individu terhadap keputusan alokasi sumber daya. Studi tersebut menghubungkan persepsi mengenai fairness terhadap hasil dari proses alokasi, proses alokasi itu sendiri dan keluasan berbagai variasi hasil psikologi termasuk komitmen, trust, intention turnover dan job satisfaction. Review tersebut menduga adanya interaksi pengaruh yang konsisten sesuai dengan prediksi teori referent cognition.

Studi ini menggunakan prediksi yang didasarkan pada teori referent cognition yaitu adanya perbandingan referential pada alokasi outcome dan proses dalam memotivasi fairness judgments. Bazerman (1994) mengemukakan bahwa fairness dapat dilihat dengan cara membandingkan outcome yang kita terima dengan apa yang seharusnya diterima. Cara lain adalah dengan membandingkan outcome yang kita terima dengan outcome yang diterima pihak lain yang setara (referent).

Menurut teori referent cognition, ketika individu menerima hasil yang tidak fair, judgment mereka menjadi melekat pada referent atau pihak lain (Folger 1986). Karena itu, seseorang akan membandingkan outcome yang mereka terima dengan referent outcome, misalnya outcome yang seharusnya mereka terima atau yang diterima oleh orang lain dengan posisi yang setara, dengan input yang relatif sama dengan input pihak lain (Adam 1965). Jika referent outcome mengindikasikan suatu hasil yang tidak memuaskan yang diterima seseorang dan outcome yang dirasakan seharusnya diterima sama dengan pihak lain, maka hal ini akan menimbulkan kemarahan dan kecemburuan.
Penelitian Yusnaini (2008) berusaha menguji prediksi dari teori referent cognitions dalam kontek akuntansi pada penilaian kinerja berbasis anggaran dengan incentive contract. Pada seting ini, outcome dari proses alokasi didefinisikan sebagai target anggaran yang harus dicapai oleh individu dan proses alokasi mengacu pada proses yang digunakan dalam penentuan target anggaran.

Lindquist (1995) menguji outcome dari fair dan unfair target anggaran dan proses penentuan target dari prespektif teori referent cognition. Hasilnya memprediksi kombinasi dari subordinate voice (tanpa pengaruh) dan vote (dengan pengaruh) dalam proses penganggaran akan menghasilkan kinerja yang tinggi dibandingkan voice saja, vote saja atau tidak ada input ketika budget target diterima. Kedua, Lindquist (1995) memprediksi voice saja akan menghasilkan kinerja yang tinggi dibandingkan voice atau vote saja ketika unfair budget target diterima. Hasil ini gagal mendukung prediksi utama atau pengaruh interaktif fairness terhadap budget target dan bentuk dari partisipasi penganggaran terhadap kinerja.

Untuk melengkapi teori referent cognition, diajukan teori alternative yaitu goal theory. Teori ini mengemukakan bahwa jika suatu goal tidak dapat dicapai (unattainable), maka hal itu tidak akan dapat diterima oleh subordinate (Locke 1982). Dengan demikian, unattainable goals tidak akan memiliki pengaruh terhadap subordinate, justru akan menurunkan motivasi untuk berkinerja (Locke 1982). Berdasarkan goal theory, kinerja turun ketika target anggaran unfair (unattainable) dibandingkan ketika target anggaran fair (attainable).

Folger (1986) menguji teori referent cognition dengan menunjukkan adanya reaksi negatif dari kombinasi unfair outcome yang dihasilkan dari suatu process yang unfair (Folger 1986). Meskipun Brockner dan Wiesenfeld (1996), menemukan pengaruh positif dari fair process pada reaksi individu dengan unfair outcome. Hasil ini tidak bisa diprediksi oleh teori referent cognition. Cropanzano dan Folger (1989) memperluas teori referent cognition untuk menguji pengaruh unfair outcome sebagai hasil dari prosedur yang fair. Ketika unfair outcome dihasilkan dari prosedur yang fair, individu akan memandang outcomes sebagai anomali (Folger 1986) atau mengatribusikannya sebagai hal yang menentang organisasi (Cropanzano and Folger 1991). Cropanzano dan Folger (1989) menemukan ketika unfair outcome dihasilkan dari prosedur yang fair, individu tidak mengexpresikan banyak kemarahan terhadap hal itu. Seseorang akan tetap termotivasi untuk berkinerja dan tidak terpengaruh oleh outcome yang tidak fair.

Dengan menggunakan 88 orang mahasiswa kelas eksekutif di kota Palembang dan metode eksperimen, hasil penelitian Yusnaini (2008) menunjukkan bahwa pengaruh motivasional dapat dihasilkan bukan hanya melalui keterlibatan dalam proses penganggaran, tetapi juga melalui tindakan untuk berkomunikasi mengenai perlakuan seseorang berkaitan dengan pihak lain dalam kelompoknya. Incentive contracting yang ditawarkan oleh organisasi dapat memotivasi kinerja meskipun proses dalam penentuan target tidak fair. Incentive contract dapat menjadi faktor yang dapat menjelaskan perbedaan kinerja diantara grup eksperimen.

Sumber: Yusnaini. 2008. Analisis Fairness dan Incentive COntract Terhadap Kinerja Berbasis Anggaran: Pengujian Empiris atas Referent Cognitions Theory. Proceeding Simposium National Akuntansi 11. Pontianak.

Distributive and Procedural Justice


Keadilan Distribusi (Distributive Justice) Persepsian

Distributive Justice diturunkan dari Equity Theory (Adams, 1965). Premise equity theory mengemukakan bahwa seseorang cenderung untuk menilai status sosial mereka dengan penghasilan seperti rewards dan sumberdaya yang mereka terima (Greenberg, 1987). Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja, penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja (Gilliland, 1993; Adams, 1965). Hal ini menunjukkan bahwa respon sikap dan perilaku terhadap penghasilan berkaitan dengan penghasilan yang didasarkan pada persepsi mengenai keadilan (Walster et al., 1978).

Pendapat mengenai distributive justice terbentuk ketika suatu kelompok membandingkan penghasilan mereka dengan pihak lain (Anderson et al., 1969). Teori relative deprivation (Crosby, 1976) yang merupakan bagian dari distributive justice mengemukakan bahwa dalam konteks organisasi, individu membandingkan pembagian alokasi sumberdaya untuk mereka dengan pembagian untuk pihak lain. Persepsi selanjutnya terhadap ketidakcukupan (relative deprivation) dapat menyebabkan reaksi turunnya kepuasan dan mengurangi kinerja seseorang atau kelompok.

Keadilan Prosedural (Procedural Justice) Persepsian

Teori keadilan prosedural menguji pengaruh prosedur pengambilan suatu keputusan terhadap sikap dan perilaku (Walker, et al., 1974). Thibaut dan Walker (1975) mengemukakan bahwa proses pengambilan keputusan dapat sangat berpengaruh terhadap penerimaan mengenai hasil suatu keputusan. Oleh karena itu, ada kalanya seseorang tidak setuju dengan hasil suatu keputusan tetapi dapat menerima keputusan tersebut karena proses pengambilan keputusan yang dilakukan dengan adil. Dalam hal ini, proses yang adil menjadi norma yang diterima umum terhadap perilaku baik dalam konteks sosial maupun dalam konteks proses pengambilan keputusan organisasi.

Satu konstruk penting dalam teori keadilan prosedural adalah “process control” atau “voice effect” (Folger, 1977). Diberikannya kesempatan kepada bawahan untuk mengemukakan keinginan, opini, pandangan dan preferensi mereka sebelum suatu keputusan dibuat akan dapat meningkatkan pengertian mereka tentang proses yang adil (Brett, 1986). Secara psikologis, voice effect memberikan suatu perasaan bagi bawahan bahwa mereka turut mengendalikan hasil suatu keputusan. Penelitian terhadap orientasi pengendalian ini telah di uji di berbagai setting eksperimen yang hasilnya menunjukkan kecenderungan terhadap voice effect (Lindquist, 1995). Hal ini terutama terjadi ketika bawahan diperbolehkan berpendapat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga sikap (seperti proses yang adil, kepuasan akan hasil, dan komitmen dengan hasil) dan respon perilaku dapat secara positif meningkat (Hunton & Beeler, 1997).

Sumber: Yusnaini. 2007. Peran Keadilan dan Manfaat Persepsian Terhadap Tingkat Kepuasan dan Komitmen Karyawan Departemen Akuntansi (Studi Eksperimental). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi X. Juli 2007. Makasar.

Ribet


Wah.. udah hampir seminggu gak posting tulisan baru, kangen juga ngeblog lagi.
Seminggu ini lagi konsen nyusun proposal penelitian. Tanggal 15 besok terakhir pengumpulan berkas. Sudah semingguan ini tidurku minimalis banget. Alhamdulillah dari kemaren, urusan udah beres. Ketik-ketik, jilid-jilid, minta tandatangan sana sini, bakar CD, siiipp... urusan ok. Besok bisa dikirim.

Tapi...
Karena penyerahan berkas ini harus kolektif, maka akupun mesti terlibat sangat dalam untuk membereskan segala urusan. Kenapa ya, klo urusan yang bareng-bareng begini, selalu saja gak bisa jadi orang yang terima beres. Udah diseting-seting untuk menghindar tapi akhirnya kena juga. Kadang kesel juga, kenapa mesti jadi sibuk sendiri. Tapi yeeaaah gakpapalah itung-itung amal, toh aku juga punya kepentingan disitu.

Nah, diantara berbagai kerumitan dan keribetan urusan itu, ada hal yang sangat-sangat aku sesali. Terjadi miss persepsi, miss understanding dan miss miss lainnya (yang pasti bukan miss univers laaah..)
Entahlah, sulit aku jelaskan, sulit pula dideskripsikan apa sebenarnya yang menjadi masalah. Apa pula yang menjadi kendala...

Sehingga muncul kemarahan, kekesalan dan kebencian "oknum-oknum" tertentu.
Bingung niiih...
Apa salahnya membagi informasi yang memang sama2 dibutuhkan, yang notabene informasi itu bisa di download oleh seluruh manusia di muka bumi ini. Apa salahnya kalo semua menjadi lebih cepat, efisien dan sederhana. Apa salahnya kalau membantu memfasilitasi untuk mempermudah kepentingan bersama. Dengan demikian urusanku pun menjadi lebih lancar. Meskipun sebenernya gak niat banget merepotkan diri begitu.. Pusing jadinya....

Intinya,
Sebenarnya tidak ada yang harus dipermasalahkan, tidak ada yang harus ditakutkan. Setiap orang berhak melakukan ikhtiarnya, dan Allah lah yang mengatur rezekinya.
Kebersihan hati benar-benar harus dijaga, keihlasan harus benar-benar dipertahankan dalam menghadapi situasi seperti ini. Kalau setiap orang bisa berbesar hati, dan sedikit merendahkan hati, aku yakin tidak akan terjadi kesalahpahaman seperti itu.

Yaaahh.... ternyata niat baik tidak selalu disambut dengan baik.
Cara yang baik pun kadangkala diartikan berbeda. Hal-hal seperti ini kadangkala membuat kapok n trauma untuk melakukan sesuatu. Seringkali aku berpikir, diam dan fakum untuk menghindari konflik adalah jalan terbaik. Capek hati rasanya..
Hanya keyakinanlah yang menguatkan bahwa amal dan kejahatan tidak akan pernah tertukar. Semua memiliki ukuran dan nilai masing-masing.

Keep smile...

Pusiiiingggg...


Hari ini pusing banget kepalaku, apa karena laper ya he...he... secara hari ini puasa dengan sahur yang sangat minimalis. Untung kelas pagi udah beres. Jadi pusingnya gak mengganggu aktivitas kelas.

HHmmm... padahal mesti kerja sampe malem nih. Masih ada 2 kampus lagi yang mesti dikunjungi. Kadang-kadang males banget mo melompat sana sini, Pengennya sih bisa konsentrasi di satu titik aja.. Tapi kelasnya nge-full, biar salarynya juga full he..he...

Klo dipikir-pikir repot juga jadi dosen terbang, kata temen2 thawaf keliling kota, kadang-kadang bingung sama mahasiswanya n mata kuliahnya nya. Klo pas mhs telpon tuh mesti jelas-jelas kasih identitas diri, klo gak, bakal bingung tuh. Terkadang juga lupa dengan jadwal ujian, eh pernah udah janji mid tes sm mhasiswanya tapi soal nya gak siap, kan jadi malu tuuuhh....

Yeeahhh.... dinikmatin aja deh, ini adalah pilihan karir yang aku sukai. Tentu saja aku juga harus manut dengan segala konsekuensinya.

Kapitalisme dan Ketamakan


Kapitalisme seringkali diasosiasikan dengan pelit, perilaku mementingkan diri sendiri, tetapi apakah ini hanya merupakan tuduhan? Para peneliti telah menjalankan beberapa variabel dalam penelitian berikut. Dua pemain yang dipilih secara acak yang saling tidak mengenal ditempatkan di ruangan yang berbeda. Pemain pertama diberikan $100 dan diminta untuk membagi uangnya, berapa pun, dengan pemain kedua. Pemain pertama dapat mengajukan pembagian $100/$0, $80/$20, $50/$50, atau kombinasi yang lain. Meskipun demikian, dalam aturan percobaan, pemain kedua diperbolehkan menolak tawaran dan dalam hal ini, kedua pemain tidak mendapatkan apa-apa. Permainan dimainkan hanya sekali untuk setiap pasangan pemain.

Apa yang dilakukan oleh orang yang tamak? Pemain pertama yang tamak dan pelit beralasan bahwa pemain kedua akan bersedia menerima penawaran yang sekecil mungkin, katakanlah $10, karena $10 sudah lebih baik daripada tidak sama sekali. Meskipun demikian, dalam pengulangan percobaan, oang yang berperan sebagai pemain pertama biasanya jauh lebih berbaik hati daripada contoh ekstrem tersebut, dan orang yang berperan sebagai pemain kedua kadang menolak tawaran yang kecil, meskipun keduanya akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Lebih menarik lagi, respons antarkultur ternyata berbeda.

Ketika percobaan dilakukan pada petani dari Hamilton, Missouri, pemain pertama menawarkan rata-rata $48-sangat dekat dengan pembagian 50/50. Sebaliknya, rata-rata yang ditawarkan oleh pemain pertama dari suku Indian Quichua di Peru hanya $25. Indian Quichua merupakan subsistem dari masyarakat yang bertani dengan sistem tebas bakar (slash-and-burn)dengan sedikit perdagangan, sementara petani Hamilton, Missouri, hidup dalam perekonomian pasar kapitalis yang sangat berkembang. Percobaan ini juga diulang dibeberapa komunitas di seluruh dunia, dan secara konsisten menghasilkan kesimpulan bahwa ketamakan (rata-rata sedikit bagian yang ditawarkan oleh pemain pertama) diasosiasikan dengan masyarakat bukan pasar, prakapitalis. Sebaliknya, secara umum pada masyarakat yang berada di ekonomi lokal yang telah berkembang, tawaran pemain pertama mendekati pembagian 50/50.

Tidak jelas apa penyebab dan akibatnya. Apakah pasar membuat orang bertindak lebih tidak tamak atau penindasan dari ketamakan yang dibutuhkan sebagai prasyarat ekonomi pasar yang telah berkembang? Pada setiap tingkatan, ketamakan yang berlebihan kelihatannya lebih merupakan ciri dari orang yang hidup dalam masyarakat yang kurang berkembang, prakapitalis, daripada mereka yang hidup dalam perekonomian yang sudah berkembang.

Sumber : David Wessel. "Capital: The Civilizing Effet of The Market". The Wall Street Journal. 24 Januari 2002. Hal. A1.

Di Mana Anda Hendak Bekerja?


Akhir-akhir ini semua eksekutif mengklaim bahwa perusahaan mereka memilikistandar etika yang tinggi; tetapi tidak semua eksekutif menjalankan apa yang mereka katakan. Karyawan biasanya mengetahui kapan eksekutif puncaknya mengatakan suatu hal dan melakukan hal yang lain, dan mereka juga tahu perilaku tersebut merugikan pihak lain. Bekerja di perusahaan di mana manajemen puncaknya hanya memberikan sedikit perhatian pada aturan etikanya sendiri menjadi sangat tidak menyenangkan. Beberapa ribu karyawan di berbagai organisasi telah ditanya apakah mereka bersedia merekomendasikan perusahaannya untuk karyawan yang prospektif. Secara keseluruhan, 66% mengatakan mereka bersedia. Diantara mereka yang mempercayai bahwa manajemen puncak selalu berusaha untuk memenuhi standar etika perusahaan yang telah ditetapkan, jumlah yang merekomendasikan melonjak menjadi 81%. Tetapi, diantara mereka yang yakin bahwa manajemen puncak tidak memenuhi standar etika perusahaan yang telah ditetapkan, jumlah yang merekomendasikan hanya sebesar 21%.

Sumber: Jeffery L. Seglin. "Good for Goodness' Sake". CFO. Oktober 2002. Hal. 75-78.

Kisah "Chainsaw" Mengenai Etika


Al Dunlap dijuluki eksekutif yang mampu membuat semuanya mungkin dan memiliki spesialisasi untuk membenahi perusahaan-perusahaan sekarat. Dia memiliki pernyataan yang sangat sensasional "Jika kamu butuh teman, belilah Anjing. Saya sudah punya dua". Akhirnya praktik menyimpang dari taktik bisnisnya mulai terungkap sesudah kekacauan yang terjadi di Sunbeam. Sunbeam adalah perusahaan yang ia ambil alih dan duduk sebagai CEO tetapi dua tahun kemudian ditinggalkan dengan kondisi berantakan. Pada awalnya, ia mampu menunjukkan kinerja perbaikan yang konsisten di Sunbeam, tetapi trik yang digunakan akhirnya ketahuan juga. John A. Byrne menggambarkan apa yang telah terjadi:

"Menginjak kuartal keempat, ketika semakin sulit untuk memenuhi target laba, teknik dan pendekatan baru digunakan. Pendekatan tersebut pada dasarnya menyimpang. Cara tersebut diberi nama "Penugasan". Kersh (CFO Sunbeam) dan Dunlap mengumpulkan para eksekutif dan meminta masing-masing untuk menggunakan angka yang telah dipersiapkan dalam menjalankan bisnisnya. Jika ada kekurangan di satu sisi akan ditutupi dengan meminta bagian lain untuk melakukan perubahan sehingga target-target yang disampaikan Dunlap kepada Wall Street dapat terpenuhi.

"Mereka akan mengatakan, "AKu tidak peduli terhadap rencanamu. Aku juga tidak peduli atas hasil bulan lalu", ujar Dixon Thayer, kepala penjualan internasional. "Kami minta Anda untuk menggunakan angka ini". Russ (Kersh) akan memberi angka penjualan dan laba dan mengatakan..... hidupmu akan tergantung pada angka tersebut. "Angka-angka itu sangat tidak berdasar dan tidak masuk akan".

Untuk mempertahankan pekerjaan mereka, beberapa manajer Sunbeam mulai melakukan berbagai penyimpangan. Komisi yang mestinya dibayarkan kepada para agen penjualan mulai tidak dibayar.... Menjelang musim liburan, usaha untuk memoles angka tersebut menjadi semakin sulit..... Perusahaan menawarkan barang kepada toko-toko eceran enam bulan sebelum mereka membutuhkannya. Para pemilik toko eceran tidak harus membayar ataupun mengambil barang tersebut selama enam bulan.

Dengan tata cara yang seringkali aneh dalam interpretas akuntansi, Kersh jarang bertindak secara konservatif selama menjabat sebagai CFO di Sunbeam. Dia selalu membusungkan dada dan menunjukkan bahwa dialah "pusat laba terbesar" perusahaan. Dalam pertemuan para eksekutif, Dunlap mengatakan: "Jika bukan karena Russ dan tim akuntansi, kita ini bukanlah apa-apa". Beberapa eksekutif mendengar Dunlap menyuruh bawahannya "Gunakan angka itu, dan Russ akan menutupinya".

Daeirda DenDanto, saat itu berusia 26 tahun, baru saja dipekerjakan di departemen internal audit perusahaan, mengungkapkan praktik menyimpang yang dilakukan perusahaan, tetapi tidak ada tindak lanjut dari rekomendasi yang dibuatnya. Akhirnya dia mengundurkan diri setelah gagal mengungkap praktik kotor perusahaan. Beberapa bulan berikutnya, praktik menggelembungkan laba tersebut terungkap, dan terjadi kehebohan di dewan direktur. Kerugian perusahaan pada tahun tersebut mencapai $1 miliar dan harga saham terperosok ke $6 per lembar dari sebelumnya $53 per lembar. Perusahaan dan seluruh karyawan harus menanggung kerugian tersebut.

Sumber: John A. Byrne. "Chainsaw: He Anointed Himself America's Best CEO. But Al Dunlap Drove Sunbeam into Ground". Business Week. 18 Oktober 1999. Hal: 128-149.

Hilangnya Panutan


Beberapa pihak berargumen bahwa perubahan peran akuntan manajemen dan CFO telah menjadi terlalu jauh dalam beberapa tahun terakhir. Don Keough, mantan eksekutif Coca_Cola, menyatakan bahwa, "Pada saat itu, CFO pada dasarnya adalah pemikir, pintar dan sempurna. Membawakan berita baik bukanlah fungsi dari mereka. Mereka adalah pembica yang jujur".

Tapi semua itu berubah di akhir tahun 1990-an di beberapa perusahaan. CFO menjadi juru bicara perusahaan, mengarahkan analis saham dalam perkiraan keuntungan kuartalan- dan meyakinkan bahwa perkiraan keuntungan tersebut telah disesuaikan dengan segala hal yang dirasa perlu, termasuk trik akuntansi, dana dalam beberapa kasus kecurangan yang terjadi.

CFO di beberapa perusahaan seperti Enron yang diklaim terlibat dalam praktik korupsi menjadi tertuduh dan ditahan oleh pihak yang berwajib. Apa yang dibutuhkan? Integritas diri yang lebih besar dan berkurangnya tekanan untuk memenuhi estimasi laba kuartalan.

Sumber: Jeremy Kahn. "The Chief Freaken Out Officer". Fortune. 9 Desember 2002. Hal: 197-202.

Kendala Merupakan Kunci


Pabrik Lessines milik Baxter International membuat produk medis berupa kantong steril. Manajemen perusahaan tahu benar bahwa mereka harus aktif mengelola kendala yang dihadapi. Sebagai contoh, pada saat perusahaan mengalami kendala bahan baku, manajemen akan mencari pemasok lain dan membeli bahan baku dari mereka, meskipun harus membeli dengan harga lebih mahal.

Ketika mesin menjadi, mereka sering menambahkan shift pada akhir minggu atas mesin tersebut. Jika mesin tertentu menjadi kendala yang sangat besar, dan manajemen telah kehabisan akal untuk menggunakan mesin tersebut secara lebih efektif, mereka akan membeli kapasitas tambahan.

Sebagai contoh jika sebuah mesin pres plastik menjadi kendala, maka mesin pres plastik yang baru akan dibeli. Bahkan sebelum mesin pres tersebut datang, manajemen telah memutuskan bahwa dalam rangka menambah kapasitas kendala berikutnya ada pada mesin adonan. Oleh karenanya mereka telah menyusun rencana untuk merancang mesin adonan baru. Dengan selalu memikirkan dan berfokus pada kendala yang dihadapi, pihak manajemen akan mampu meningkatkan kapasitas sesungguhnya dengan harga serendah mungkin.

Sumber: Eric Noreen, Debra Smith, dan James Mackey. "The Theory of Constraints and Its Implications for Management Accounting. Hal. 67.

Perhatikan Darimana Anda Memotong Biaya


Di sebuah rumah sakit, ruang gawat darurat menjadi sangat berantakan sehingga perlu ditutup untuk umum dan pasien selama lebih dari 36 jam dalam sebulan. Setelah diselidiki, kendalanya bukan pada ruang gawat darurat itu sendiri, melainkan pada staf kebersihan.

Untuk menghemat biaya, manajer di rumah sakit tersebut telah memecat petugas kebersihan. Kondisi ini mengakibatkan kondisi bottleneck pada ruang gawat darurat karena ruangan tidak cepat dibersihkan, sehingga karyawan ruang gawat darurat tidak dapat menolong pasien baru.

Menghentikan beberapa pekerja dengan gaji paling murah dari rumah sakit ternyata malah membuat beberapa karyawan rumah sakit yang bergaji tinggi dan peralatan rumah sakit yang sangat mahal menjadi menganggur.

Sumber: Tracey Burton-Houle. "AGI Continues to Steadily Make Advances With the Adaptation of TOC into Healthcare".

Kelemahan Just In Time


Sistem JIT memiliki beberapa keunggulan, tetapi sangat rentan terhadap gangguan pasokan bahan. Lini produksi dengan cepat menjadi macet begitu ada komponen penting yang tidak tersedia. Toyota yang menjadi pelopor sistem JIT juga mengalami bahwa ini adalah hal yang sangat sulit.

Pada hari Sabtu, pabrik Aisin Seiki Company yang berlokasi di prefektur Aichi yang menjadi pemasok rem bagi Toyota terbakar, sehingga pasokan bagi Toyota terhenti. Pada hari Selasa, Toyota terpaksa harus menghentikan seluruh aktivitas perakitannya. Ketika bagian yang rusak berhasil diperbaiki, Toyota telah kehilangan penjualan sebesar $15 miliar.

Sumber : "Toyota to Recalibrate' Just In Time". International Herald Tribune. 8 Februari 1997. Hal: 9.

Canon Menuju Selular


Canon telah sepenuhnya mengganti proses produksinya dalam pabrik mesin fotocopi, tidak lagi menggunakan sistem ban berjalan dan penggunaan peralatan berat yang sebelumnya merupakan inti dari lini perakitan. Canon telah menggantinya dengan mengadopsi sistem produksi sel dengan tim kecil yang terdiri atas enam pekerja yang berkonsentrasi pada pengembangan mesin fotocopi tipe tunggal. Tidak lagi dipasang permanen di lantai, peralatan produksi kini lebih ringan dan lebih ringkas, dan dapat diubah ke bentuk konfigurasi yang baru. Pekerja diharapkan mampu menyelesaikannya sediri.

Sebagai contoh, satu pekerja sekaligus memasang penutup untuk drum sensitif cahaya yang sedang mereka rakitkan ke dalam mesin fotokopi untuk mencegah debu dan cahaya yang merusaknya. Hasilnya, biaya perakitan dapat dipotong setengahnya dan produktivitas dapat ditingkatkan hingga 20%.

Sumber: William J. Holstein. "Canon Takes Aim at Xerox". Fortune. 14 Oktober 2002. Hal: 215-220.

Penanganan Persediaan di Porsche


Pengamat industri telah menghapuskan Porsche dari daftar pembuat mobil independen di awal tahun 1990-an. Penjualan tahun 1992 turun sampai di bawah 15.000 unit, atau hanya seperempat dari prestasi puncak tahun 1986 dan mengalami kerugian hingga $133 juta. Saat itulah Wendelin Wiedeking diangkat sebagai manajer puncak dari perusahaan terkemuka namun bermasalah tersebut.

Wiedeking mempekerjakan dua ahli efisiensi dari Jepang untuk mengatasi permasalahan tradisi Porsche. "Mereka segera dapat mengatasi tumpukan-tumpukan persediaan yang ada di lokasi perusahaan di Stuttgart. Satu orang spesialis menangani proses produksi dengan model roda putar. Pada saat para pekerja perakitan masih terheran-heran, dia melakukan pengamatan dan sampai pada tumpukan-tumpukan bahan baku yang ada di rak-rak".

Mereka melakukan perubahan besar-besaran. Proses perakitan menjadikan konsumsi waktu menurun drastis dari 120 jam menjadi hanya 60 jam untuk model 911 Carrera. Untuk mengembangkan model baru hanya dibutuhkan waktu tiga tahun dari tujuh tahun sebelumnya. Selain itu program pengendalian kualitas telah membantu menurunkan jumlah produk rusak. Hasilnya, penjualan perusahaan terdongkrak menjadi 34.000 unit mobil dengan laba $55 pada tahun terakhir.

Sumber: David Woodruff. "Porsche Is Back - and Then Some". Business Week. 15 September 1997. Hal: 57.

Apa yang Dibutuhkan?


Kontroler Mc Donald's menggambarkan karakteristik yang dibutuhkan oleh sebagian besar akuntan manajemen sebagai berikut:

"Semua telah mengasumsikan bahwa Anda telah mengetahui tugas Akuntan. Anda diharapkan untuk mengetahui implikasi pajak dari sebuah keputusan. Anda harus memahami aliran biaya dan informasi. Anda harus merasa nyaman dengan teknologi dan menjadi ahli dalam peranti lunak bisnis dan akuntansi perusahaan. Anda harus tau segalanya. Anda harus mengetahui apa yang dikerjakan orang di bagian pemasaran, teknik, sumberdaya manusia, dan departemen lainnya. Anda harus memahami bagaimana proses, departemen, dan fungsi bekerja bersama untuk menjalankan bisnis. Anda akan diharapkan untuk menyumbangkan ide pada rapat persiapan, sehingga Anda harus mengetahui gambaran secara keseluruhan, tetap fokus pada hasil akhir dan berpikir strategis".


Sumber: Gary Siegel, James E. Sorensen dan Sandra B. Richtermeyer. "Becoming a Business Partner: Part 2". Strategic Finance. October 2003. Hal. 37-41.

Lebih dari Sekedar Angka


Judy C. Lewent adalah CFO di Merck, sebuah perusahaan farmasi. Dia memimpin 750 orang dan terlibat dalam keputusan strategis perusahaan. Cynthia Beach, wakil presiden riset investasi global Goldman Sachs&Co., dia mengatakan hal berikut ini mengenai Lewent "Menurut pengamatan saya, Merck adalah salah satu perushaan yang dikelola dengan sangat baik, dan Judy adalah tokoh utamanya".

Presiden dan CEO Raymond Gilmartin menambahkan hal berikut ini "Banyak CFO menghabiskan waktunya untuk membuat dan menyajikan data keuangan secara terinci, tepat waktu, dan akurat beserta analisis kepada manajemen puncak. Padahal kita tidak boleh terlalu mengagung-agungkan data tersebut.

Bagi Judy, hal tersebut hanyalah salah satu hal yang sederhana dari berbagai hal yang dia sumbangkan bagi organisasi. Lewent membuat keputusan proyek pengembangan produk yang harus didanai, dan bagaimana merancang struktur waralaba produk, peluang akuisisi dan kesepakatan lisensi".

Sumber: Russ Banham, "Merck Grows Form the Inside Out, Powered by the CFO's Joint Ventures". CFO. October 2000. Hal: 69-70.

Informasi Apa yang Anda Miliki?


Caterpillar masuk kategori terdepan dalam penerapan akuntansi manajemen. Pada saat ditanyai oleh manajer mengenai biaya suatu produk, akuntan di Caterpillar telah dilatih untuk menanyakan "Untuk apakah informasi biaya tersebut?"

Salah satu akuntan manajemen Caterpillar menjelaskan "Kami ingin memastikan bahwa informasi telah diformat secara tepat dan berisi informasi yang sesuai. Apakah Anda membutuhkan biaya variabel, overhead yang dibebankan, ataukah Anda sedang membicarakan biaya opsional? Informasi biaya yang mereka butuhkan sangat tergantung pada jenis keputusan yang akan mereka ambil".

Sumber: Gary SIegel. "Practice Analysis: Adding Value". Strategic Finance, November 2000. Hal: 89-90.

Keputusan Real Time


Cisco System dan Alcoa merupakan perusahaan terkemuka dalam industrinya, dan manajemen akuntansi real time merupakan salah satu kunci sukses mereka. Para manajer di perusahaan ini dapat mengakses ke dalam sistem akuntansi manajemen mereka untuk mendapatkan data terakhir penjualan, margin, pesanan, beban dan data lainnya per daerah, per unit bisnis, per saluran distribusi, per tenaga penjualan, dan seterusnya.

Direktur keuangan (chief financial officer-CFO) Cisco, Larry Carter, mengatakan bahwa dengan tersedianya informasi tersebut "Anda dapat mempersenjatai seluruh tim manajemen dalam pembuatan keputusan".

Richard Kelson, CFO Alcoa, mengatakan "Semakin cepat Anda mendapatkan informasi, akan semakin mudah untuk memperbaiki kesalahan". Sebagai contoh, dengan menggunakan informasi yang terkini, manajer Alcoa mengetahui secara dini penurunan pasar pesawat terbang, dan dengan demikian mereka telah melakukan pergeseran produksi logam sebagai bahan dasar pembuatan pesawat terbang ke produk lain.

John Chamber, direktur utama (chief executive officer-CEO)Cisco mengatakan "Setiap kuartal, manajer lini memperoleh informasi margin dan produk serta mengetahui secara tepat dampak dari setiap keputusan yang dibuat".

Sumber : Thomas A. Stewart. "Making Decision in Real Time". Fortune, 26 Juni 2000. Hal: 332-333.