Fairness and Referent Cognitions Theory

Setiap organisasi mengharapkan agar anggaran yang telah ditetapkan dapat dicapai. Namun penentuan target anggaran dan proses penetapannya merupakan dua faktor penting yang harus diperhatikan. Secara umum, seseorang akan membandingkan anggaran yang ditetapkan atas dirinya dengan pihak lain yang setara. Hal ini menimbulkan persepsi keadilan atas target maupun proses penentuannya. Dengan demikian persepsi keadilan ini menjadi pendorong untuk berkinerja dengan baik. Persepsi individu terhadap fairness atau keadilan baik dalam target maupun prosesnya menjadi motivasi bagi individu untuk mencapai anggaran yang telah ditetapkan (Libby 1999; Wetzel 1999; Lindquist 1995). Salah satu teori yang menguji mengenai fairness adalah teori Referent Cognitions. Menurut teori referent cognitions, interaksi antara fairness terhadap target anggaran dan fairness pada proses penentuan target anggaran merupakan perpaduan yang dapat menimbulkan motivasi dalam mencapai anggaran.

Menurut Folger (1986), ketika target anggaran ditentukan secara fair, maka informasi mengenai proses penentuannya menjadi tidak penting dalam memotivasi pencapaian target. Dilain pihak, ketika target anggaran ditentukan dengan unfair, maka individu akan berusaha mencari informasi mengenai bagaimana proses penentuan target anggaran tersebut. Jika hal itu dihasilkan dari proses yang tidak fair, maka individu menjadi merasa sangat marah, sehingga kurang termotivasi untuk mencapai target anggaran (Cropanzano dan Folger 1991).

Bazerman (1994) mengemukakan bahwa manusia sangat peduli dengan fairness yang dapat mempengaruhi keputusan dan kehidupan mereka. Segala sesuatu akan mengarahkan judgment seseorang mengenai apa dipikirkan mengenai rasa adil tersebut. Fairness mengacu pada pemahaman mengenai bagaimana proses kognitif membentuk perasaan marah, cemburu dan ineffisiensi. Fairness dapat ditinjau dari dua elemen yaitu pada outcomes dan pada prosesnya.

Kahneman, Knetsch dan Thaler (1986) menguji fairness pada seting eksperimen mengenai supply dan demand. Studi tersebut menunjukkan bahwa pertimbangan fairness dapat mendominasi pilihan rasional dalam pengambilan keputusan ekonomis. Studi Lindquist (1995) menunjukkan bahwa proses yang fair didefinisikan melalui partisipasi subordinate pada setting penetapan target anggaran dan aspek dari proses penganggaran lainnya dimanipulasi. Shields and Shields (1998) menguji pengaruh partisipasi dalam penganggaran pada beberapa perbedaan outcomes termasuk kinerja dan penciptaan slack anggaran.

Brockner dan Wiesenfeld (1996) mereview 45 studi mengenai reaksi individu terhadap keputusan alokasi sumber daya. Studi tersebut menghubungkan persepsi mengenai fairness terhadap hasil dari proses alokasi, proses alokasi itu sendiri dan keluasan berbagai variasi hasil psikologi termasuk komitmen, trust, intention turnover dan job satisfaction. Review tersebut menduga adanya interaksi pengaruh yang konsisten sesuai dengan prediksi teori referent cognition.

Studi ini menggunakan prediksi yang didasarkan pada teori referent cognition yaitu adanya perbandingan referential pada alokasi outcome dan proses dalam memotivasi fairness judgments. Bazerman (1994) mengemukakan bahwa fairness dapat dilihat dengan cara membandingkan outcome yang kita terima dengan apa yang seharusnya diterima. Cara lain adalah dengan membandingkan outcome yang kita terima dengan outcome yang diterima pihak lain yang setara (referent).

Menurut teori referent cognition, ketika individu menerima hasil yang tidak fair, judgment mereka menjadi melekat pada referent atau pihak lain (Folger 1986). Karena itu, seseorang akan membandingkan outcome yang mereka terima dengan referent outcome, misalnya outcome yang seharusnya mereka terima atau yang diterima oleh orang lain dengan posisi yang setara, dengan input yang relatif sama dengan input pihak lain (Adam 1965). Jika referent outcome mengindikasikan suatu hasil yang tidak memuaskan yang diterima seseorang dan outcome yang dirasakan seharusnya diterima sama dengan pihak lain, maka hal ini akan menimbulkan kemarahan dan kecemburuan.
Penelitian Yusnaini (2008) berusaha menguji prediksi dari teori referent cognitions dalam kontek akuntansi pada penilaian kinerja berbasis anggaran dengan incentive contract. Pada seting ini, outcome dari proses alokasi didefinisikan sebagai target anggaran yang harus dicapai oleh individu dan proses alokasi mengacu pada proses yang digunakan dalam penentuan target anggaran.

Lindquist (1995) menguji outcome dari fair dan unfair target anggaran dan proses penentuan target dari prespektif teori referent cognition. Hasilnya memprediksi kombinasi dari subordinate voice (tanpa pengaruh) dan vote (dengan pengaruh) dalam proses penganggaran akan menghasilkan kinerja yang tinggi dibandingkan voice saja, vote saja atau tidak ada input ketika budget target diterima. Kedua, Lindquist (1995) memprediksi voice saja akan menghasilkan kinerja yang tinggi dibandingkan voice atau vote saja ketika unfair budget target diterima. Hasil ini gagal mendukung prediksi utama atau pengaruh interaktif fairness terhadap budget target dan bentuk dari partisipasi penganggaran terhadap kinerja.

Untuk melengkapi teori referent cognition, diajukan teori alternative yaitu goal theory. Teori ini mengemukakan bahwa jika suatu goal tidak dapat dicapai (unattainable), maka hal itu tidak akan dapat diterima oleh subordinate (Locke 1982). Dengan demikian, unattainable goals tidak akan memiliki pengaruh terhadap subordinate, justru akan menurunkan motivasi untuk berkinerja (Locke 1982). Berdasarkan goal theory, kinerja turun ketika target anggaran unfair (unattainable) dibandingkan ketika target anggaran fair (attainable).

Folger (1986) menguji teori referent cognition dengan menunjukkan adanya reaksi negatif dari kombinasi unfair outcome yang dihasilkan dari suatu process yang unfair (Folger 1986). Meskipun Brockner dan Wiesenfeld (1996), menemukan pengaruh positif dari fair process pada reaksi individu dengan unfair outcome. Hasil ini tidak bisa diprediksi oleh teori referent cognition. Cropanzano dan Folger (1989) memperluas teori referent cognition untuk menguji pengaruh unfair outcome sebagai hasil dari prosedur yang fair. Ketika unfair outcome dihasilkan dari prosedur yang fair, individu akan memandang outcomes sebagai anomali (Folger 1986) atau mengatribusikannya sebagai hal yang menentang organisasi (Cropanzano and Folger 1991). Cropanzano dan Folger (1989) menemukan ketika unfair outcome dihasilkan dari prosedur yang fair, individu tidak mengexpresikan banyak kemarahan terhadap hal itu. Seseorang akan tetap termotivasi untuk berkinerja dan tidak terpengaruh oleh outcome yang tidak fair.

Dengan menggunakan 88 orang mahasiswa kelas eksekutif di kota Palembang dan metode eksperimen, hasil penelitian Yusnaini (2008) menunjukkan bahwa pengaruh motivasional dapat dihasilkan bukan hanya melalui keterlibatan dalam proses penganggaran, tetapi juga melalui tindakan untuk berkomunikasi mengenai perlakuan seseorang berkaitan dengan pihak lain dalam kelompoknya. Incentive contracting yang ditawarkan oleh organisasi dapat memotivasi kinerja meskipun proses dalam penentuan target tidak fair. Incentive contract dapat menjadi faktor yang dapat menjelaskan perbedaan kinerja diantara grup eksperimen.

Sumber: Yusnaini. 2008. Analisis Fairness dan Incentive COntract Terhadap Kinerja Berbasis Anggaran: Pengujian Empiris atas Referent Cognitions Theory. Proceeding Simposium National Akuntansi 11. Pontianak.

1 komentar:

ubeaase mengatakan...

Pragmatic Play Casinos In The United States - Poker News Guides
List of the best Pragmatic Play casino 파라오바카라 sites 2021 ✓ Play for free or real money 사이트 제작 now! ✓ 넷마블 바카라 Find 우리바카라 the best USA Pragmatic Play casino sites kbo 분석 for free!

Posting Komentar